I.
PENDAHULUAN
Pada
dasarnya penentuan ushul fiqh yang menjadi landasan utama penentuan hukum islam
syariah adalah Al-quran , namun Al-quran sendiri bersifat global dan penjabaran
terdapat pada As-sunnah atau yang biasa di sebut Hadits, Istilah
lain yang semakna dengan hadits ialah sunnah , khabar , dan atsar. dalam makalah ini penulis akan membahas Hadits sebagai landasan
kedua ushul fiqh.
II. PEMBAHASAN
A.Pengertian Hadits
Hadits atau al-hadits menut bahasa al-jadid
yang artinya sesuatu yang baru-lawan dari al-Qadim (lama) – artinya yang
berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits
juga sering di sebut juga dengan al-khabar , yang berarti berita, yaitu
sesuatu yang di percakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain,
sama maknanya dengan hadits.[1]
Sedangkan menurut istilah (terminologi), para ahli
memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang
disiplin ilmunya. Seperti pengertian hadits menurut ahli ushul akan berbeda
dengan pengertian yang diberikan oleh ahli hadits:
“Segala perkataan Nabi, perbuatan , dan hal
ihwalnya.”
Yang di maksud dengan “hal ihwal” ialah
segala yang didiriwayatkan dari Nabi SAW. Yang berkaitan dengan himmah,
karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.[2]
Sementara ulama ushul memberikan pengertian Hadits
adalah:
“segala
perkataan Nabi SAW, perbuatan , dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’
dan ketetapannya”.
Berdasarkan pengertian hadits menurut ahli ushul ini
jelas bahwa hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. Baik
ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau
ketentuan–ketentuan Allah yang di isyaratkan kepada manusia.ini berarti bahwa
ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai Rasul dan sebagai manusia biasa.
Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran
Allah yang di emban oleh Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah. Inipun, menurut
mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya.
Sedangkan kebiasaan-kebiasaan, tatacara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya
merupakan kebiasaan manusia dan sifat ke-manusiaan tidak dapat di kategorikan
sebagai hadits.Dengan demikian, pengertian hadits menurut ahli ushul lebih
sempit dibanding dengan pengertian hadits menurut ahli hadits.
B.Pengertian As-Sunnah
As-sunnah menurut istilah syara’
adalah sesuatu yang datang dari Rasullah saw. Baik berupa perkataan, perbuatan
, ataupun pengakuan (taqrir).
Menurut
bahasa sunnah berarti “ jalan yang
terpuji dan atau yang tercela” . Dalam kaitan Sunnah yang diartikan dengan “Assairoh”
atau “attoriqoh” . Sunnah, Mandub , Mustahabb ,Ihsan , al-Muroghob fiih
, al-Aula , an-Naflu, al-Mustahsan dan Tathowwu’ merupakan kata-kata murodif,
yang mempunyai pengertian yang sama, yaitu “Suatu perkara yang mendapatkan
pahala jika dikerjakan dan tidak mendapatkan siksa jika di tinggalkan”.
sedangkan pengertian Sunnah menurut
istilah terbagi menjadi 3 golongan : Ahli Hadits , Ahli Ushul , Ahli Fiqh.
1.
Pengertian
Sunnah menurut ahli Hadits adalah Segala yang bersumber dari Nabi saw. Baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup,
baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya”.
Jadi
dengan definisi tersebut, para ahli hadits menyamakan antara sunnah dengan Hadits.
Tampaknya para ahli hadits membawa makna Sunnah ini kepada seluruh kebiasaan
Nabi saw,baik yang melahirkan hukum syara’ maupun tidak. Hal ini terlihat dari
definisi yang di berikan mencakup tradisi Nabi sebelum masa terutusnya sebagai
Rasul. Akan tetapi bagi ulama ushuliyyin jika antara Sunnah dan Hadits
dibedakan, maka bagi mereka hadits adalah sebatas sunnah qauliyah-nya Nabi saw
saja. Ini berarti, Sunnah cakupannya lebih luas dibandingkan hadits, sebab
sunnah mencakup perkataan, perbuatan, dan penetapan (taqrir) Rasul, yang bisa
di jadikan dalil hukum syar’i.[3]
2.
Pengertian
Sunnah menurut ahli Usul mengatakan Sunnah adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi saw. Yang behubungan dengan syara’, baik berupa
perkatakaan, perbuatan, maupun taqrir beliau.
Berdasarkan
pemahaman seperti ini, mereka mendefinisikan Sunnah sebagai berikut:“Segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi saw, selain Al-Quran al-Karim, baik berupa
perkataan , perbuatan, maupun Taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi hukum
syara”[4].
Definisi ahli ushul ini membatasi pengertian sunnah hanya pada segala sesuatu
yang bersumber dari Nabi, baik perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang
berkaitan dengan hukum syara’. Dengan demikian, sifat, perilaku , sejarah
hidup, dan segala yang bersumber dari nabi saw. Yang tidak berkaitan dengan
hukum syara’ dan terjadi sebelum diangkat menjadi Rasul tidak dikatakan Sunnah.
Demikian pula tidak dikatakan sebagai sunnah segala yang bersumber dari sahabat
dan tabi’in, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan-ketetapannya. Pemahaman
ahli ushul terhadap Sunnah sebagaimana tersebut di atas, didasarkan pada
argumentasi rasional bahwa Rasullah SAW, sebagai pembawa dan pengatur
undang-undang yang menerangkan kepada manusia tentang dustur al-hayat
(undang-undang hidup) dan menciptakan kerangka dasar bagi para mujtahid yang
hidup sesudahnya. Hal-hal yang tidak mengandung misi seperti ini tidak dapat
dijadikan sumber hukum yang mengikat.
3.
Pengertian
Sunnah menurut ahli Fiqh “Segala ketetapan yang berasal dari Nabi saw selain
yang di fardukan dan diwajibkan dan termasuk hukum (Taklifi) yang lima”.
Ulama
ahli fiqh mendefinisikan Sunnah seperti ini karena mereka memusatkan pembahasan
tentang pribadi dan perilaku Rasul saw pada perbuatan-perbuatan yang melandasi hukum
syara’, untuk diterapkan pada perbuatan manusia pada umumnya, bauk yang wajib ,
haram , makruh, mubah,maupun sunnah, ini memang tidak dapat di lepaskan dari
dasar hukum syara’ yang lima. Oleh karena itulah apabila mereka berkata perkara
ini sunnah, maksudnya mereka memandang bahwa pekerjaan itu mempunyai nilai syariat yang dibebankan oleh Allah SWT.
Kepada setiap manusia yang baligh dan berakal dengan tuntutan yang tidak mesti.
Dengan kata lain, tidak fardhu dan tidak wajib (menurut ulama Hanfiyah) dan
tidak wajib (menurut ulama Fiqh lainnya).
Umat
islam telah sepakat bahwasanya apa yang keluar dari Rasulullah saw , baik yang
berupa perkataan , perbuatan , atau taqriri , dan hal itu di maksudkan sebagai
pembentukan hukum-hukum Islam dan sebagai tuntunan. Serta diriwayatkan kepada
kita dengan sanad yang shahih yang menunjukkan kepastian atau dugaan kuat
tentang kebenarannya, maka ia menjadi hujjah atas kaum muslimin dan sebagai
sumber hukum syara’ daripadanya berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf.
Maksudnya, bahwasanya hukum-hukum yang terdapat dalam sunnah-sunnah ini,
bersama dengan hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Quran membentuk susatu
undang-undang yang wajib diikuti.
C.Macam-macam bentuk
Hadits
1.Hadits
Qauli
Yang dimaksudkan dengan hadits qauli adalah
segala yang disandarkan kepada Nabi saw, yang berupa perkataan atau ucapan yang
memuat berbagai maksud syara’ . peristiwa , dan keadaan , baik yang berkaitan
denga akidah , syari’ah, akhlak , maupun yang lainnya.
2.Hadits
Fi’li
Adalah segala yang disandarkan kepada Nabi
saw berupa perbuatan nya yang sampai
kepada kita.sebagaimana tindakannya menunaikan shalat lima waktu dengan
cara-caranya dan rukun-rukunnya, perbuatannya melaksanakan manasik haji, dan
putusannya dengan berdasarkan seorang saksi dari pihak pendakwa.
3.Hadits
Taqriyah
Adalah segala hadits yang berupa ketetapan
Nabi saw terhadap apa yang datang dari sahabatnya. Dan telah di akui
Rasullullah saw , baik berupa ucapan maupun perbuatan. Pengakuan tersebut
adakalanya dengan sikap diamnya dan tidak adanya keingkaran beliau, atau dengan persetujuannya dan adanya pernyataan
penilaiaan baik terhadap perbuatan itu. Dengan adanya pengakuan dan persetujuan
ini, maka perbuatan itu dianggap muncul dari rasullah saw sendiri.
4.Hadits
Hammi
Adalah hadits yang berupa hasrat Nabi saw
yang belum terealisasi, seperti hasrat puasa 9 asyura. “ketika Nabi saw
berpuasa pada hari Asyura dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: Ya Nabi , hari ini
adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang yahudi dan nasrani. Nabi saw
bersabda: tahun yang akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari
kesembilan”. ( HR.Muslim)[5]
Nabi
saw beum sempat merealisasikan hasratnya ini, karena wafat sebelum sampai bulan
Asyura. Menurut Imam Syafi’i dan para pengikutnya, bahwa menjalankan hadist
hammi ini disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah yang lainnya.
5.Hadits
Ahwali
Yang di maksud dengan hadits Ahwali ialah
hadits yang berupa hal ihwal Nabi saw, yang menyangkut keadaan fisik,
sifat-sifat dan kepribadiaanya. Tentang keadaan fisik Nabi saw dalam beberapa
hadits disebutkan bahwa fisiknya tidak terlalu tinggi dan tidak pendek ,
sebagaimana yang dikatakan oleh Barra’.
III. Analisis hadits dalam hukum
Islam
Penegasan posisi
hadits sebagai sumber hukum Islam ini sangat strategis bagi upaya revitalisasi[6]
hukum Islam. Karena sebagian besar hukum Islam bersumber pada hadits. Terlebih
lagi, hadits atau sunnah banyak menjadi dalil bagi berbagai hukum yang
berkaitan dengan kehidupan bernegara, misalnya pengaturan hubungan penguasa dan
rakyat, hubungan negara Islam dengan negara lain, pengangkatan hakim (qadhi)
dan sebagainya.
Dari hadits, kita akan dapat memahami sistem ekonomi Islam, misalkan tentang kepemilikan individu, umum dan negara, pendapatan dan belanja negara, keharusan pemenuhan kebutuhan pokok individu, sandang, pangan, dan papan, kewajiban negara untuk menjamin pendidikan, keamanan, dan kesehatan dan sebagainya.
Dari hadits atau sunnah kita akan dapat memahami secara rinci sistem interaksi dan pergaulan pria dan wanita, misalkan berbagai hukum tentang melamar (khitbah) calon istri, hukum nikah, hukum nasab (garis keturunan), hukum cerai, hukum silaturrahim dan seterusnya.
Dari hadits pula kita akan dapat memahami secara rinci sistem pendidikan Islam untuk membentuk generasi muda yang berkepribadian Islam dan cakap menghadapi kehidupan dengan berbagai bekal pengetahuannya.
Hadits adalah sumber kedua dalam Islam, baik sebagai ketetapan hukum maupun perintah-perintah, yang menjadi rujukan ahli fiqih dalam merumuskan hukum. Demikian juga menjadi rujukan bagi da’i dan pendidik. Dari hadits, mereka menggali makna-makna inspiratif, nilai-nilai yang mengarahkan, kebijaksanaan yang tinggi, serta bentuk-bentuk penyampaian yang mendorong orang melakuakn kebaikan dan menjauhi keburukan.
Dengan demikian, posisi strategis hadits sangat jelas dalam hubungannya dengan penerapan hukum Islam dalam segala aspeknya. Sebaliknya, tanpa hadits atau sunnah, jangan dibayangkan akan ada pelaksanaan hukum Islam yang benar dan paripurna dalam kehidupan. Ringkas kata, tak ada hukum Islam dan sekaligus revitalisasi hukum Islam tanpa hadits,
Dari hadits, kita akan dapat memahami sistem ekonomi Islam, misalkan tentang kepemilikan individu, umum dan negara, pendapatan dan belanja negara, keharusan pemenuhan kebutuhan pokok individu, sandang, pangan, dan papan, kewajiban negara untuk menjamin pendidikan, keamanan, dan kesehatan dan sebagainya.
Dari hadits atau sunnah kita akan dapat memahami secara rinci sistem interaksi dan pergaulan pria dan wanita, misalkan berbagai hukum tentang melamar (khitbah) calon istri, hukum nikah, hukum nasab (garis keturunan), hukum cerai, hukum silaturrahim dan seterusnya.
Dari hadits pula kita akan dapat memahami secara rinci sistem pendidikan Islam untuk membentuk generasi muda yang berkepribadian Islam dan cakap menghadapi kehidupan dengan berbagai bekal pengetahuannya.
Hadits adalah sumber kedua dalam Islam, baik sebagai ketetapan hukum maupun perintah-perintah, yang menjadi rujukan ahli fiqih dalam merumuskan hukum. Demikian juga menjadi rujukan bagi da’i dan pendidik. Dari hadits, mereka menggali makna-makna inspiratif, nilai-nilai yang mengarahkan, kebijaksanaan yang tinggi, serta bentuk-bentuk penyampaian yang mendorong orang melakuakn kebaikan dan menjauhi keburukan.
Dengan demikian, posisi strategis hadits sangat jelas dalam hubungannya dengan penerapan hukum Islam dalam segala aspeknya. Sebaliknya, tanpa hadits atau sunnah, jangan dibayangkan akan ada pelaksanaan hukum Islam yang benar dan paripurna dalam kehidupan. Ringkas kata, tak ada hukum Islam dan sekaligus revitalisasi hukum Islam tanpa hadits,
IV. kesimpulan
Dari paparan diatas, penulis bisa menyimpulkan bahwa:
1. Hadits atau sunnah adalah segala perkataan Nabi SAW, perbuatan , dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.
2. Posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam adalah sebagai dasar / sumbernya dalam menetapkan hukum dan menjelaskan hukum-hukum yang telah disebutkan al-Qur’an secara global.
3. Hadits sebagai sumber hukum Islam dimaksudkan sebagai tasyri’ (menetapkan hukum) yang mencakup segala urusan dan permasalahan, apakah itu masalah ibadah, makanan, minuman, politik, peradilan, keluarga dan seterusnya. Dan semua hadits yang diriwayatkan dengan sahih dari Nabi Saw. adalah hukum-hukum yang wajib diikuti sepanjang masa, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang menggugurkan kewajiban tersebut.
1. Hadits atau sunnah adalah segala perkataan Nabi SAW, perbuatan , dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.
2. Posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam adalah sebagai dasar / sumbernya dalam menetapkan hukum dan menjelaskan hukum-hukum yang telah disebutkan al-Qur’an secara global.
3. Hadits sebagai sumber hukum Islam dimaksudkan sebagai tasyri’ (menetapkan hukum) yang mencakup segala urusan dan permasalahan, apakah itu masalah ibadah, makanan, minuman, politik, peradilan, keluarga dan seterusnya. Dan semua hadits yang diriwayatkan dengan sahih dari Nabi Saw. adalah hukum-hukum yang wajib diikuti sepanjang masa, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang menggugurkan kewajiban tersebut.
V. Daftar Pustaka
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1998.
wahab, abdul. Ilmu ushul fiqh. Semarang: Dina utama.
wahab, abdul. Ilmu ushul fiqh. Semarang: Dina utama.
Effendi, Satria dan M.Zein. Ushul Fiqih. Jakarta: Prenada Media.
2005.
Munfarida, posisi hadits dalam
pembentukan hukum. 2010
Suparta, Munzier. ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2002.
Kamus bahasa indonesia, gramedia , 2000
Soetari, Endang Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press. 1997
[1]
Ibn Manzhur. Lisan al-Arab,juz II, (mesir: Dar Al-Mishriyah, t.t.), hlm.
436-439, Muhammad Al-Fayumi, Misbah Al-Munir fi Gharib al-syarh al-kabir li
al-Rafi’li, juz 1, (Beirut:Dar Al-kutub Al-Iimiyah), 1978,hlm. 150-151.
[2]
Muhammad Mahfudz ibn Abdillah Al-Tirmisi, Manhaj Dzawi Al-Nazhar, (jeddah:Al-Haramain,
1974), cet ke-3,
[3]
‘Ajjaj Al-Khatib, Ibid, hlm 27.
[4]
Ajjaj Al-Khathib, op.cit, hlm. 19
[5]
Hadis nomor 1.916 dalam kitab Al-shalat, shahih muslim
[6]
Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal
yang sebelumnya kurang terberdaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar